Jakarta -
Pusat perbelanjaan di beragam kota belakangan ini semakin ramai dikunjungi. Meski begitu, pemandangan para visitor nan sekadar berjalan-jalan tanpa membawa belanjaan kerap terlihat.
Fenomena ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial hingga forum ekonomi. Banyak nan penasaran, ada apa sebenarnya dengan tren ini di tengah kondisi ekonomi nan menantang.
Beberapa pihak menilai kebiasaan tersebut tak hanya soal selera shopping alias style hidup semata. Ada aspek psikologis, ekonomi, dan kebiasaan sosial nan ikut memengaruhi perilaku para visitor mal saat ini.
Menariknya, tren ini tidak hanya terjadi pada satu golongan masyarakat saja, tetapi meluas di beragam lapisan sosial. Baik kelas menengah ke bawah maupun menengah ke atas terlihat melakukan kebiasaan serupa, meskipun alasannya berbeda-beda.
Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengutip dari detikcom, kejadian ini tidak bisa dianggap sepele. Ia menegaskan, bahwa kondisi ini perlu dicermati dengan serius agar dampaknya terhadap perekonomian bisa diantisipasi.
Mengenal istilah Rojali hingga Rohana nan lagi ramai di Mal
Fenomena Rojali dan Rohana sekarang jadi sorotan di beragam pusat perbelanjaan. Istilah ini merujuk pada kebiasaan visitor nan datang ke mal tapi pulang tanpa membawa belanjaan, hanya sekadar cuci mata alias makan berbareng teman.
Belakangan, istilah baru ialah Robeli (rombongan betul-betul beli) mulai disebutkan oleh Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anne Patricia Sutanto. Ia menyebut, Robeli baru bisa terwujud jika daya saing produk lokal meningkat dan daya beli masyarakat ikut terdongkrak.
Anne menjelaskan, bahwa daya saing nan tinggi bisa mendorong peningkatan investasi. Kondisi ini pada akhirnya bakal menciptakan buying power di kalangan masyarakat.
"Plus jika kita berkekuatan saing otomatis investasi nan ada bertumbuh, tidak berkurang dan investasi nan ada bisa memberikan buying power. Jadi istilah Rohana, Rojali, itu tidak menjadi Rohana Rojali, tapi bener-bener Robeli, bener-bener dibeli," kata Anne.
Fenomena Rojali dan Rohana sering kali terlihat saat mal ramai tapi transaksi sepi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akronim adalah singkatan nan dilafalkan sebagai kata wajar, contohnya ponsel alias galbay. Nah, Rojali dan Rohana adalah akronim serupa nan sekarang banyak digunakan untuk menyebut perilaku unik para visitor mal.
Rojali berfaedah rombongan jarang beli, sementara Rohana adalah rombongan hanya nanya. Keduanya sering terlihat di pusat perbelanjaan, terutama saat akhir pekan alias libur panjang.
Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menyebut kejadian ini menjadi tanda turunnya permintaan di sektor ritel. Ia mengatakan, bahwa pelaku upaya ritel merasakan penurunan tersebut cukup signifikan.
"Rojali dan Rohana ini kan konsep lebih ke daya beli. Karena di ritel sendiri mereka merasakan pelaku-pelaku ritel kami bahwa adanya penurunan demand, itu terasa sekali," ujar Shinta.
Penyebab munculnya banyak Rojali dan Rohana di tengah masyarakat
Ketua Umum APPBI, Alphonsus Widjaja, menjelaskan argumen munculnya kejadian ini berbeda-beda tergantung kelas sosial. Kelas menengah atas condong menahan shopping lantaran aspek global, seperti ketidakpastian makroekonomi dan pilihan investasi.
Sementara itu, kelas menengah ke bawah terdampak penurunan daya beli lantaran duit nan mereka pegang semakin sedikit. Meski begitu, mereka tetap memilih datang ke mal untuk sekadar jalan-jalan alias makan.
"Kalau nan di kelas menengah atas, penyebabnya misalkan mereka lebih ke hati-hati dalam berbelanja. Apalagi jika ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global. Sehingga mereka (memilih) shopping alias investasi? 'Kan itu juga terjadi," ujar Alphonsus.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto juga menambahkan, bahwa tren masyarakat sekarang lebih sering ke mal untuk makan. Ia menyebut banyak pusat perbelanjaan nan memperbanyak area kuliner lantaran mengikuti kebiasaan tersebut.
"Sekarang memang trennya kebanyakan ke mal itu makan dan itu beberapa lama terakhir kan trennya ke sana. Makanya banyak mal nan memperbanyak kuliner," kata Airlangga.
Pergeseran shopping ke platform online juga membikin transaksi di toko bentuk semakin menurun. Banyak sekarang visitor nan hanya melihat-lihat produk sebelum akhirnya membeli secara online dengan nilai lebih murah.
Studi ungkap kejadian Rojali dan Rohana bisa jadi sirine ekonomi nasional
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut kejadian Rojali dan Rohana bukan hanya sekadar tren sosial biasa. Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, kondisi ini dapat menandakan adanya tekanan konsumsi di masyarakat.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 menunjukkan penurunan konsumsi terjadi bukan hanya di kelas bawah, tetapi juga merambah kelas atas. Hal ini memperlihatkan kehati-hatian berbelanja sekarang meluas ke lintas lapisan sosial.
Bank Indonesia (BI) mencoba mengantisipasi dengan menurunkan BI-Rate agar kembang angsuran lebih terjangkau. Tujuannya adalah meningkatkan daya beli masyarakat sehingga konsumsi rumah tangga kembali bergairah.
Fenomena ini dianggap krusial lantaran konsumsi rumah tangga merupakan penopang utama perekonomian Indonesia. Jika dibiarkan, perlambatan konsumsi bisa berakibat pada banyak sektor lainnya.
"Rojali adalah sinyal krusial bagi kreator kebijakan untuk tidak hanya konsentrasi menurunkan nomor kemiskinan, tetapi juga memperhatikan ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga kelas menengah bawah," ujar Ateng Hartono.
Bagi Bunda nan mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join organisasi HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(ndf/som)